Kualitas: Dosen dan Lembaga Penyelenggara Pendidikan


Kualitas. Tentu saja semua orang suka sesuatu yang berkualitas. Kualitas menjadi acuan bagi segala hal yang dapat diukur dan dibuat tolok ukurnya agar tercapai apa yang disebut sebagai kualitas. Kualitas paling dasar disebut sebagai standar kualitas. 

Berarti kualitas segala sesuatu itu bertingkat-tingkat? Benar sekali. Sehingga ada istilah kualitas satu, kualitas dua dan seterusnya. Penulis yakin para pembaca pernah mendengar istilah KW1, KW2 dan seterusnya, hal tersebut merupakan istilah dari kualitas satu dan seterusnya.

Dalam dunia pendidikan apakah ada kualitas? Tentu saja ada, kualitas untuk pendidikan ini dibagi menjadi beberapa kategori elemen yaitu kualitas untuk: 
1. Lembaga Penyelenggara Pendidikan.
2. Kurikulum
3. Guru (Dosen).
4. Mahasiswa.
5. Lembaga Akreditasi
6. Lembaga Sertifikasi Dosen

Lembaga Penyelenggara Pendidikan. Lembaga yang berkualitas itu bagaimana? Dalam berbagai negara, negara tertentu memiliki aturan tersendiri dalam menentukan kualitas suatu lembaga. Kualitas suatu lembaga pendidikan disebut dengan nama Akreditasi. Kini penulis hanya fokus pada lembaga pendidikan setingkat Sekolah Tinggi dan Universitas.

Lembaga Akreditasi di Negara Indonesia ditangani oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi  (BAN PT). BAN PT memiliki kriteria dalam memberikan "nilai" kepada suatu universitas akankah mendapatkan kualitas C, B dan atau A.

Akreditasi oleh BAN PT ini akan ditinjau lagi selama sekitar empat tahun atau sesuai ajuan visitasi akreditasi yang dilakukan oleh universitas yang mengajukan diri untuk ditinjau universitasnya. Walaupun banyak yang mendapatkan nilai baik yaitu A, tetapi apakah benar universitas tersebut benar-benar berkualitas? Atau adakah sistem akreditasi BAN PT yang kurang bagus?

Menurut penulis, kualitas suatu universitas belum optimal walaupun sudah mendapatkan nilai kualitas tertinggi yaitu mendapatkan A. Hal ini karena penulis melihat adanya kekurangan sistem pengawasan yang berkelanjutan. Sebab hanya empat tahun saja visitasi akreditasi dilakukan.

Hal ini memberikan kesempatan bagi suatu universitas untuk "memoles" dirinya dengan cepat, sehingga seharusnya mendapatkan C menjadi B dan seharusnya B menjadi A, atau bahkan seharusnya A tetapi menjadi B karena asesor yang menilai "subjektif".

Kekurangan sistem akreditasi BAN PT tersebut di mana? 

Penulis memberikan dekonstruksi sistem BAN PT yang kurang optimal tersebut. Yaitu, dengan hanya empat tahun sekali maka kualitas dan problem sesungguhnya suatu universitas "belum optimal" untuk dapat dinilai dengan baik. 

Seperti telah penulis singgung sebelumnya yaitu "tidak berkelanjutan" sehingga menimbulkan "potensi" untuk "memoles" universitasnya agar sesuai dengan kriteria akreditasi BAN PT.

Kini penulis memberikan usulan agar terjadinya sistem akreditasi oleh BAN PT dibuat "berkelanjutan" dengan cara menempatkan "agen" yang tersumpah sehingga melaporkan problem dan kualitas sesungguhnya secara berkala per bulan. 

Dari situ "agen" dari BAN PT tadi akan memberikan laporan yang objektif berdasarkan kriterian BAN PT yang ada. Sehingga penelitian, dosen, dan kriteria-kriteria lainnya dapat terbaca dan terlaporkan dengan jelas dan bukan "akal-akalan" saat divisitasi oleh asesor saja. 

Agen ini tidak di gaji oleh universitas tetapi oleh BAN PT, sehingga laporan itu akan memberikan "kualitas" sesungguhnya saat asesor mendatangi universitas tersebut. Untuk agen ada baiknya juga diganti secara berkala dan ditransfer ke universitas lainnya agar tidak terjalin hubungan "spesial" dengan "para penjilat universitas".

Agen berkelanjutan untuk akreditasi BAN PT ini penulis mengusulkan agar setiap universitas non pemerintah dan pemerintah menjadi lebih berkualitas secara sesungguhnya dan bukan "ilusi" karena "polesan instan". Bagaimana caranya dan diwujudkannya? Penulis siap membantu bila pemerintah memerlukan solusi lebih detilnya.

Kurikulum. Kurikulum yang berkualitas itu bagaimana? Sebelum berbicara tentang kurikulum berkualitas, penulis akan menjelaskan terlebih dulu apa itu kurikulum. Kurikulum bukanlah sekumpulan daftar mata kuliah yang diajarkan  yang disebut dengan nama "Distribusi Mata Kuliah". 

Penulis sering bertemu dengan dosen-dosen dan pejabat universitas yang "tidak berkualitas standar" selalu salah menyebut "distribusi mata kuliah" sebagai kurikulum" dan dosen-dosen yang "buta" apa itu kurikulum ada yang menjabat koordinator mata kuliah, kepala program studi, dekan, wakil rektor bahkan rektornya, ada yang banyak tidak mengerti apa itu "kurikulum".

Lalu kurikulum itu apa? Kurikulum adalah "sistem" pendidikan suatu lembaga penyelenggara pendidikan tersebut. Istilahnya "Sistem Universitas" tersebut, yang mencakup "Visi (cita-cita), Misi (tugas dalam mencapai cita-cita) berserta aturan main yang jelas (rules of the game) bagi yayasan, dosen, staf, mahasiswa, dan semua hal yang diwajibkan dengan kriteria BAN PT". Penulis siap membantu teman-teman universitas melalui Serikat Dosen Indonesia (SDI) bila ingin lebih detil mengetahui apa itu kurikulum.

Dosen. Dosen berkualitas? Apakah ada dosen berkualitas? Tentu saja ada, tetapi penulis mengklaim secara subjektif, ada lebih dari 95% dosen di semua universitas "tidak" berkualitas dan membuat buruk kualitas lulusan yaitu "mahasiswa" yang juga tidak berkualitas. Istilah kerennya "Trash in (Universitas buruk, kurikulum buruk, dosen buruk) trash out (hasil lulusan berupa mahasiswa yang buruk).

Bagaimana bisa dosen tidak berkualitas akhirnya menjadi dosen suatu lembaga penyelenggara pendidikan? Dosen tidak berkualitas disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah sistem yayasan (penyelenggara pendidikan suatu universitas) yang buruk dan dosen yang memang buruk.



Yayasan universitas yang buruk memang sejak awal sudah memiliki "rencana" untuk menyingkirkan para perintis. Yayasan universitas yang buruk memiliki hegemoni "Guru (dosen) adalah pahlawan tanpa tanda jasa" yang berarti "jangan mengharapkan hidup mewah dan biarkan kami orang-orang yayasan saja yang kaya" sebab kata-kata yang biasanya muncul entah dalam visi atau misi suatu yayasan untuk pendidikan adalah "mencerdaskan bangsa" yang memiliki arti lain "menguras uang orang tua generasi bangsa".

Dan dipastikan yayasan yang buruk ini "tidak peduli' dengan dosen-dosen berkualitas sebab yang penting bagi yayasan adalah "pemasukan laba yang berkualitas". Sehingga tidak heran universitas buruk akan memiliki strategi membuat "konflik" antar dosen dan dosen yang menjabat jabatan strategis di semua levelnya.

Sehingga muncul "pecah belah yang semakin meruncing" karena HRD-nya juga ternyata "kacau" dan pasti kacau karena yayasannya juga "kacau". Bukankah "yayasan" tujuannya nirlaba? Tidak ada yang namanya "nirlaba" untuk "yayasan" versi Indonesia ini, sebab intinya adalah "mendapatkan laba dan bila perlu menggunakan topeng manipulasi mendapatkan empati masyarakat dalam dan luar negeri dengan istilah "yayasan". Tetapi bukan berarti tidak ada yayasan yang baik, pasti ada, cuma memang kebanyakan tidak baik.

Yayasan yang buruk biasanya  lebih dari 90% dosen-dosen perintis (awal) di universitas akan hengkang karena "manajemen konflik" yang dibuat oleh orang-orang yayasan dan HRD universitas tersebut. Apakah universitas tempat pembaca mengabdi menjadi "pahlawan tanpa tanda jasa" memiliki tanda-tanda tersebut? 

Bila iya, maka bergabunglah dengan kami SDI agar kami membantu pembaca yang berprofesi sebagai dosen untuk mendapatkan "hak" yang belum diberikan padahal "kewajiban" telah dituntaskan.

Dosen yang buruk? Dosen yang buruk banyak sekali, mulai dari dosen yang tidak memiliki keilmuan yang sesuai dengan mata kuliah yang diajarkan, dosen yang tidak memiliki keterampilan praktek sehingga setiap pertemuan yang seharusnya praktek malah teori saja isinya, atau kebalikannya, dosen yang tidak bisa teori sehingga praktek apa yang diajarkan tidak sesuai teori dan tidak optimal karena tidak mengerti prinsip-prinsipnya, dosen yang tidak memiliki courseplan (course outline/ silabus), dosen yang tidak memiliki course rundown atau Bahasa Indonesianya disebut sebagai satuan acara perkuliahan (SAP) untuk tiap pertemuan di kelas.

Kriteria penilaian dosen yang tidak jelas dan tidak objektif pada saat tugas dan ujian pada mahasiswa, sehingga ada potensi penilaian secara "subjektif" sehingga nilai dapat dimanipulasi dengan "uang" dan "kencan" untuk dosen dari mahasiswa yang juga akan menjadi buruk karena mendapatkan universitas, sistem kurikulum yang buruk, dan dosen yang buruk .

Dosen yang hanya memiliki ijasah pendidikan tinggi tapi ilmu teori dan prakteknya kosong, dosen yang sudah bersertifikasi tetapi tidak melakukan kewajibannya yaitu penelitian, pengabdian sosial dan hanya mengajar saja. Dosen yang tidak ada 'penelitian" dan "pengabdian sosial ini" ternyata "hanya menerima uang pemerintah" tetapi masih saja terus menerima uang dari pemerintah tersebut, ini dosennya yang salah? ataukah sistem pemerintah yang salah? Sepertinya dua-duanya.

Dengan SDI, maka universitas yang dirugikan oleh dosen-dosen yang buruk, dosen yang tidak berkualitas ini dapat merusak sistem universitas yang baik, bahkan memperburuk universitas yang sudah buruk. Era globlalisasi sudah datang dengan istilah Masyarakat Ekonomi Asia, di mana untuk mengantisipasi "dosen" dari luar negeri dan dalam negeri yang buruk serta meningkatkan kualitas dosen secara internasional, maka SDI menginisiasi adanya "sertifikasi kualitas dosen". Sehingga para dosen benar-benar berkualitas dengan tolok ukur yang jelas, mampu bersaing di dalam dan di luar negeri.

Mahasiswa. Mahasiswa yang baik adalah yang memiliki keilmuan sesuai program studinya, memiliki kreatifitas, inovasi, siap berwirausaha mandiri dan memiliki kemanusiaan yang tinggi untuk membangun bangsa. Dapat diprediksi apa yang terjadi bila mahasiswa tersebut diluluskan dari universitas yang buruk dan dosen yang buruk. Mahasiswa lulusan yang buruk adalah setelah lulus tidak memiliki keterampilan apa-apa, tidak memiliki sifat kemanusiaan yang tinggi, dan intinya lulusan yang bodoh dan membuang uang orang tua saja.

Tentu saja pepatah "trash in trash out" benar-benar terjadi. Apakah pembaca adalah dosen yang buruk? Ataukah teman pembaca adalah dosen yang buruk ataukah universitas pembaca adalah universitas yang buruk? Siapkah Dosen Indonesia bersaing dengan dosen dari negara lain? Saatnya membangun semuanya di SDI.
# Bosan jadi dosen? Salary kecil walaupun mengabdi puluhan tahun? Mau salary besar? Click di link berikut




Comments

Popular Posts